Beberapa waktu lalu tersiar berita aneh namun cukup menyakitkan, di mana berita itu telah mengagetkan para budayawan, seniman dan sejarawan. Laporan itu berkaitan tentang komite Senat Amerika yang sedang mengevaluasi sebuah rencana untuk melelang peninggalan-peninggalan kuno Iran yang tersimpan di berbagai museum dan universitas Amerika dengan harga tinggi. Rencana ini sejalan dengan sanksi-sanksi baru yang dirancang Amerika Serikat terhadap Iran. Menurut rencana, hasil penjualan dari barang-barang antik Iran tersebut akan digunakan untuk mendanai gerakan-gerakan anti-Iran.
Senator Robert Menendez telah memaparkan rencana ini dan akan mengirimnya ke Senat Amerika untuk disahkan. Pasti anda akan merasa heran bagaimana mungkin warisan budaya dan barang-barang museum yang sebagian besar merupakan amanah akan dilelang? Dan anehnya tak seorang pun memprotes langkah tersebut? Apakah para anggota parlemen pemerintah AS yang selalu mengklaim cinta budaya juga akan terperosok ke dalam kebencian terhadap budaya dan sejarah bangsa Iran yang kemudian mengesahkan rencana tersebut?
Gerakan anti-budaya Iran merupakan langkah yang tidak sewajarnya dan bertentangan dengan etika diplomasi serta merupakan pencurian besar terhadap warisan budaya. Maka tidak diragukan lagi, rencana ini mendapat kecaman dari para budayawan dan penuntut kebebasan di seluruh penjuru dunia. Mereka menuntut pencegahan terhadap langkah ilegal tersebut.
Saat ini muncul pertanyaan, seberapa jauhkah upaya Amerika untuk melelang peninggalan sejarah Iran? Berdasarkan hukum internasional, seperti pasal 27 Konvensi di Wina, tak satupun negara diperbolehkan mengabaikan hak-hak negara lain dan mengambil langkah untuk melelang peninggalan sejarah negara itu dengan dalih aturan internal negaranya.
Dengan begitu, amat jelas bahwa Gedung Putih tidak mempunyai hak untuk menjual peninggalan-peninggalan kuno bangsa Iran. Sebagian besar barang bersejarah itu berhubungan dengan manuskrip masa Kekaisaran Akhemenid. Pemerintah AS harus menjaga peninggalan-peninggalan kuno itu. Sebab, barang-barang antik tersebut milik bangsa Iran dan pemerintah Washington harus mengembalikannya kepada pemerintah Tehran. Jika barang-barang itu benar akan dilelang, maka polisi internasional harus menyita dan mengembalikannya kepada Iran. Sebab, peninggalan-peninggalan bersejarah itu sebenarnya hasil rampasan dari negara Persia ini. Lembaga-lembaga internasional khususnya UNESCO juga diharapkan ikut berperan menangani masalah ini dan menentang rencana pelelangan tersebut.
Terkait masalah ini, kami akan mengenalkan sebuah buku yang di dalamnya terdapat dokumen yang menguak kasus pencurian yang dilakukan sejumlah orang yang menamakan diri mereka sebagai budayawan dan arkeolog Amerika. Buku ini bernama"The Great American Plunder of Persia's Antiquities" yang ditulis Mohammad Gholi Majd.
Tema utama buku ini adalah sejarah arkeologi Iran dan kisah-kisah penemuannya pada masa Reza Shah Pahlavi. Kisah terbukanya pintu-pintu warisan budaya Iran kepada asing khususnya Amerika mempunyai berkas yang tebal dan berlanjut hingga masa kemenangan revolusi Islam pada tahun 1979. Terjadi pula pemalsuan dan distorsi peninggalan sejarah Iran.
Dalam buku ini terdapat dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika mengenai penjarahan properti bersejarah dan budaya Iran. Doktor Majd mencetak bukunya di Amerika pada tahun 2003 dan dokumen itu berkaitan dengan tahun 1935-1941.
Seraya menyinggung penjarahan peninggalan-peninggalan kuno, penulis menyebutkan bahwa berdasarkan dokumen pemerintah ini, orang-orang seperti Arthur Pope terlibat dalam pencurian barang-barang kuno dari berbagai tempat suci (Imam Zadeh) dan masjid di Iran dan menjualnya ke museum-museum Amerika. Selain itu, sejumlah barang-barang kuno ini juga dibawa ke London untuk dipamerkan di pameran seni Iran pada tahun 1931, namun hingga kini barang-barang berharga itu tidak pernah dikembalikan ke Iran.
Dokumen-dokumen Amerika menunjukkan bahwa Mohammad Ali Foroughi, Perdana Menteri Iran masa itu dan juga putranya terlibat dalam penjarahan dan penyelundupan peninggalan-peninggalan kuno Iran. Sungguh amat disayangkan, selain mencuri warisan budaya Iran, para penyelundup juga berupaya untuk tidak membayar bea cukai, dan anehnya delegasi pemerintah pada masa Shah justeru memberikan instruksi untuk tidak mengambil bea cukai atas keluarnya barang-barang berharga itu.
Buku "The Great American Plunder of Persia's Antiquities", terdiri dari sembilan bab dan menceritakan tentang aktivitas serta masuknya delegasi-delegasi arkeolog asing ke Iran. Di bagian buku inidisebutkan bahwa ada dua kelompok dari museum yang memiliki izin melakukan penelitian dan penjelajahan diberbagai daerah Iran. Kelompok pertama dari museum-museum resmi dan kelompok kedua dari museum-museum universitas. Hubungan kedua kelompok tersebut adalah sebuah kombinasi kerjasama, namun juga persaingan. Mereka menyepakati perjanjian-perjanjian untuk mengadakan penjelajahan ke daerah-daerah bersejarah Iran selama lima atau 10 tahun dan dengan mengeluarkan dana sedikit, mampu merampas area arkeologi Iran. Namun amat disayangkan, hasil dari penjelajahan itu dibawa ke negara mereka.
James Henry Breasted, Direktur Lembaga Orientalisme Universitas Chicago menilai penemuan Persepolis (Takht-e Jamshid), merupakan penemuan terbesar di semua masa. Kelanjutan dari bab ini, menceritakan tentang proses perampasan peninggalan sejarah Persepolis, di mana sebagian besar peninggalan kuno itu berhubungan dengan ribuan tahun lalu. Berdasarkan perjanjian tentang penjelajahan di daerah bersejarah ini, peninggalan yang ditemukan harus dibagi sama rata antardua negara. Namun akhirnya, terjadilah perselisihan antara keduanya soal perjanjian yang telah disepakati. Karena lemahnya diplomasi Reza Shah, akhirnya Iran lah yang menjadi pecundangnya. Kementerian Luar Negeri Amerika mengadakan pesta atas kemenenangan itu dan membawa kekayaan Iran ke negaranya.
Kasus perampasan warisan sejarah Iran tidak terbatas sampai di situ saja. Penulis dalam bab-bab selanjutnya juga menyinggung tentang kunjungan para orientalis yang mencurigakan. Mereka datang ke Iran dengan dalih melakukan penelitian terhadap peninggalan seni Iran dan memulai penelitian mereka di wilayah bersejarah negara ini.
Pengiriman delegasi-delegasi ke Iran oleh Kementerian Luar Negeri AS merupakan trik AS untuk merampas peninggalan-peninggalan budaya Iran. Sebagai contohnya, pada tahun 1926 Hoffman Philip, Menteri AS terpilih untuk Iran berkunjung ke negara ini. Hari pertama kunjungannya ke Tehran langsung mendapat pesan dari Kemenlu Amerika yang berbunyi "Sebagaimana yang anda ketahui, para arkeolog Amerika melakukan penelitian penting di berbagai wilayah dunia bersama para arkeolog asing. Mereka saat ini mengharap adanya kesempatan untuk melakukan penelitian serupa di Iran. Oleh sebab itu, Kemenlu ingin mengetahui apakah pemerintah Iran ingin meningkatkan hubungan di bidang arkeologi, bagaimana pendapat anda…."
Karena ketidakpedulian pemerintah Pahlevi, peningkatan hubungan itu sangat menguntungkan Amerika. Selama bertahun-tahun arkeologi Iran berada dalam pengawasan Perancis, namun sedikit demi sedikit berada di bawah pengaruh Amerika. Bahkan Amerika juga mengintervensi soal penjagaan dan pelestarian peninggalan nasional Iran. Hal itu dijelaskan dalam buku The Great American Plunder of Persia's Antiquities di halaman 128. Washington juga menyuap sejumlah pejabat Iran untuk memuluskan misi-misinya.
Menurut laporan seseorang yang bernama Maryam, para peneliti yang sebenarnya adalah para perampok Amerika itu terdiri dari enam delegasi arkeologi yang bertugas melakukan penelitian di Iran pada dekade 1930. Aktivitas utama mereka dipusatkan di Persepolis(Takht-e Jamshid) dan menyelesaikan kegiatan itu pada tahun 1939. Dengan berbagai dalih, hasil temuan di tempat bersejarah ini dibawa ke Amerika, di antaranya untuk penelitian dan pameran di museum-museum dunia, khususnya Amerika. Namun, hingga kini barang-barang berharga itu tidak dikembalikan kepada pemerintah Iran.
Pada tanggal 25 Agustus 1941, pasukan Britannia dan Rusia menyerang Iran dan mendudukinya. Reza Khan mengundurkan diri dan diasingkan. Barang-barang bersejarah Iran yang dimasukkan ke dalam delapan peti dibawa ke Amerika. Direktur Lembaga Orientalisme Chicago di masa itu memuji Kementerian Luar Negeri Amerika dan mengucapkan terima kasih kepada lembaga pemerintah tersebut atas upayanya dalam mengirimkan barang-barang berharga itu. Ucapan terima kasih itu disampaikannya melalui sebuah surat pada bulan Maret 1940. (IRIB Indonesia/RA/NA)
0 komentar:
Posting Komentar